Minggu, 03 Oktober 2010

Dzikir mengunakan tasbih, Kenapa tidak?

Kalau lah boleh jujur Tasbih dalam bahasa arab berasal dari kata subhah atau misbahah, dalam bentuk sekarang (dari kayu, manik-manik, dan lain sebagainya) merupakan produk “baru”, yang biasa dipakai kaum muslimin untuk meghitung bacaan tasbih (subhana Allah), tahlil (laa ilaha ila Allah), dan lain-lain.
Pada praktek di masa Rasul Allah Muhammad SAW, cara menghitung bacaan tersebut dengan menggunakan jari-jari, kerikil kecil, biji kurma dan juga tali yang disimpul-simpulkan sebagai mana riwayat-riwayat hadits berikut:

عَنْ ابْنِ عَمْرٍو أَنَّهُ قَالَ : { رَأَيْت رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْقِدُ التَّسْبِيحَ } زَادَ فِي رِوَايَةٍ لِأَبِي دَاوُد وَغَيْرِهِ " بِيَمِينِهِ "

Dari Ibn ’Amr, bahwa Ia melihat Rasull Allah menghitung bacaan tasbih, dalam riwayat Abu Dawud dan lainnya di tambah kalimat biyaminihi (dengan tangan kanannya)

وَعَنْ بُسَيْرَةَ وَكَانَتْ مِنْ الْمُهَاجِرَاتِ قَالَتْ : قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : { عَلَيْكُنَّ بِالتَّهْلِيلِ وَالتَّسْبِيحِ وَالتَّقْدِيسِ وَلَا تَغْفُلْنَ فَتُنْسَيْنَ الرَّحْمَةَ وَاعْقِدْنَ بِالْأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْئُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ } رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالتِّرْمِذِيُّ وَأَبُو دَاوُد )

Secara singkat dapat dipahami bahwa nabi Muhammad menganjurkan kepada para wanita untuk membaca tahlil, tasbih, dan taqdis, jaganlah kalian lalai jika lalai maka akan dilupakan dari rahmat Allah. Maka ikatlah dengan jari-jemari, sesungguhnya jari-jemari akan ditanya dan diperiksa (data dapat ditemukan dalam Musnan Ahmad bin Hanbal, Sunan al-Turmudzi, dan juga Sunan Abu Dawud)

وَعَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ { أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ ، فَقَالَ : أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْكِ مِنْ هَذَا أَوْ أَفْضَلُ .

Dari Sa’ad bin Abi Waqqash, sesungguhnya ia bersama Nabi masuk mendapati seorang wanita yang di depannya semacam biji kurma atau kerikil yang dipakai untuk bertasbih, kemudian Nabi memberi komentar bahwa ada hal lain yang lebih mudah dan lebih utama (sehingga terkesan tidak menyalahkan dengan apa yang sedang dilakukan wanita tersebut- seolah-olah memberikan alternative lain yang lebih baik bukan menyalahkan)
Kemudian pada masa sahabat dan tabiin alat penghitung tasbih pun berkembang sebagaimana atsar (cerita prilaku sahabat dan tabiin) yang memberikan informasi bahwa Abu Hurairah konon ceritanya menggunakan tali yang disimpul-simpulkan sampai seribu simpul begitu pula cucitnya Nabi Fathimah binti alHusain bin ‘Ali bin Abi Thalib yang juga mengunakan simpul tali (keterangan lebih detail silahkan dilihat dalam kitab Nailul Authar karya al-Syaukani juz 2, 358).

Sehingga dapat disimpulkan bahwa bentuk tasbih yang sekarang merupakan hasil metamorfose tasbih tempo dulu yang segi pemanfaatnya sama (sarana menghitung). Dari sisi lainnya dalam zaman yang serba sibuk seolah-olah mengikatkan bagi pemegangnya untuk melakukukan dzikir (mengingat Allah) dari pada mencari-cari kesalahan orang lain atau sibuk dengan urusan dunia. Lihatlah saudara kita di Timur Tengah yang menjadikan tasbih semacam aksesoris yang berada di tangan kita yang secara tidak langsung mengingatkan pemiliknya melakukan dzikir kepada Allah SWT.
Wallahu A’alamu dan selamat berdzikir.