IDUL FITHRI
Idul Fitri selalu identik dengan hingar-bingar, suka-cita, serta gelak-tawa setiap insan terlebih bagi umat Islam. Akan tetapi apa sih idul fitri itu? Apa cukup dengan membunyikan petasan, bersilaturrahim, atau rutinitas mudik ke kampung halaman yang hanya dijumpai di Negara kita, Indonesia?
Kalau diperhatikan dan dirasakan secara manusiawi dan rasa jujur, idul fitri merupakan serangkaian proses dari penempaan seorang muslim pada saat melayani bulan Allah (bulan ramadhan) di mana ia seharusnya tidak sekedar menjalaninya seperti rutinitas keseharian. Sehingga idul fitri merupakan titik puncak tertinggi (kulminasi) dari rasa syukur kepada Allah dengan mencitrakan diri, rasa riang, saling memaafkan, solidaritas tertinggi sebagaimana diekspresi dari pengeluaran zakat dibawah panji-panji Takbir (Allahu Akbar), tahlil (laa ilaha illallah), tahmid (walil laahil hamd) menjadikan manusia kefitrahnya kembali.
Tidak salah kalau kita yang berhari raya ikut memakai predikat kembali lagi kefitrahnya jika dikonfirmasikan dengan beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, Fithri jika diartikan dengan suci sama dengan teori yang diinformasikan oleh Nabi:
قَالَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - « كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ ، كَمَثَلِ الْبَهِيمَةِ تُنْتَجُ الْبَهِيمَةَ ، هَلْ تَرَى فِيهَا جَدْعَاءَ »
Nabi SAW. bersabda: Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fithrah. Kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi seorang Yahudi, atau Nasrani maupun seorang Majusi. Sebagaimana seekor binatang yang melahirkan seekor anak tanpa cacat, apakah kamu merasakan terdapat yang terpotong hidungnya?.
Konsep fithrah mempertegas, bahwa anak lahir telah membawa sesuatu, yakni kesucian (dari dosa-dosa) dan keimanan (kepada Allah sesuai dengan perjanjian yang telah dilakukannya). Kesucian dan keimanan itulah fithrah azali manusia yang akan ditumbuhkan kembangkan kembali selama berpuasa.
Dengan demikian, maka manusia kendatipun dalam kesadarannya tidak mengingat perjanjian itu, akan tetapi alam bawah sadarnya tetap “menyimpan naskah” perjanjian itu. Puasa adalah sarana penggugah alam bawah sadar manusia, sehingga, ketika tergugah, seseorang akan membuka kembali naskah perjanjiannya, bahkan akan berikrar kembali dengan cara membayar zakat, saling maaf memaafkan, dan bersaksi kembali dengan iringan suara takbir, tahlil dan tahmid.
Pada saat idul fitri Islam mengajarkan untuk bersilaturrahim, dan saling maaf memaafkan. Sehingga melahirkan nuansa tersucikan dari berbagai dosa, baik dosa kepada Allah maupun dosa kepada sesama. Berkenaan dengan amal ibadah kita, itu semua dapat dimulai dengan intropeksi diri, (muhasabah binafsihi) untuk apa sebenarnya kita ini beribadah? Benarkan untuk Allah semata?, ataukah kita sebenarnya beribadah karena tidak tahan terhadap tekanan sosial, kenaikan BBM, dan lain-lain?
Kedua, berbekal puasa maka seharusnya puasa menjadikan manusia yang mempunyai kesadaran ijtima’iyah (sosial) yang tinggi karena secara langsug ikut merasakan komunitas yang ekonominya masih di bawah kita. Pada hari biasa kita mungkin sering hanyut dalam mekanisme hawa nafsu. Kita lebih cenderung menjadi “homo homisi lupus”, srigala bagi srigala yang lain, kata filosof Inggeris Thomas Hubbes. Dengan berpuasa kita merasakan secara langsung kehidupan masyarakat yang miskin tersebut. Keterlibatan secara langsung ini merupakan suatu cara agar kita tidak “sok teoretis atau sok akademis” dalam melihat kemiskinan, sebab makna sejati dari pemihakan itu adalah keterlibatan secara langsung, dan dengan itu kita ditraining untuk berbagi rasa, berbagi pengalaman, dan dipancing untuk mengurangi atau mengentas kesulitan yang mereka hadapi.
Manusia yang sepenuhnya dikuasai mekanisme hawa nafsu, tak ubahnya seperti hewan, atau “robopaths” dimana mereka telah kehilangan kreativitasnya. Mereka menjadi mesin yang secara ritual terikat pada kegiatan yang monoton. Pagi hari bangun, mandi, dan makan pagi. Setelah itu pergi ke kantor untuk mengerjakan pekerjaan yang itu-itu juga. Sore hari pulang untuk melakukan hal-hal yang sama, kegiatan itu berulang kembali setiap hari. Mereka bukan lagi manusia, melainkan robot-robot yang digerakkan secara massal oleh pemegang kebijakan. Pada hari raya, setelah membuktikan keberhasilannya dengan berpuasa, mereka seolah kembali menjadi manusia sejati, mereka telah menemukan kemanusiaannya kembali.
Ketiga, kita yang beridul fitri sebenarnya sedang kembali kepada kehidupan normal. Pada bulan Ramadlan, katakanlah, kita memang dalam kehidupan yang “tidak normal”. Sebab saat itu kita harus melakukan hal-hal yang sebenarnya (pada bulan-bulan yang lain) diperbolehkan seperti makan, minum maupun mencari kenikmatan duniawi (hubungan suami-istri). Namun ketika idul fitri telah dating berarti kita dalam keadaan hidup yang normal kembali, sehingga kita dapat memikirkan dan mencerna dengan sadar (tidak dalam kondisi lapar dan dahaga) hikmah dan fadilah puasa dibulan ramadlan:
- puasa bukan budaya baru dalam agama langit, sehingga umat Islam tidak perlu merasa aneh apalagi keberatan dengan syariat puasa.
- Puasa ternyata hanya sarana yang dapat mengantarkan manusia menjadi manusia fitri yang kehidupannya dari awal hingga akhir nanti hanya untuk mengabdi kepada Allah atau muttaqin dalam istilah Al-Qur’an. Bahkan diwacanakan dengan redaksi la’allakum tataqu>n (semoga akan menjadi orang-orang yang taqwa) yang mengindikasikan bahwa taqwa itu harus diperjuangkan antara lain melalui puasa sejak kini hingga masa yang akan datang sampai ajal menjemput manusia.
- puasa adalah sebuah metode Ilahi yang dapat memaksa setiap manusia untuk merasakan bagaimana rasanya orang yang lagi kelaparan dan kehausan dalam jangka yang relative singkat.
- puasa menciptakan manusia berlaku sabar dan santun ketika menghadapi celaan dan hinaan, supaya menjawab 2 kali dengan ucapan : “ saya sedang puasa”. sesuai ajaran Nabi. Ini menunjukkan sisi kemanusiannya ketimbang sisi hewaninya yang mestinya layak kalau dia kalau marah juga. Tapi dengan puasa manusia diajari untuk lebih menonjolkan kesabaran dan kesantunannya atau sisi manusiawinya.
- Puasa menciptakan kasih sayang kepada kaum papa (fakir-miskin) dengan cara merasakan sendiri bagaimana rasa lapar dan dahaga itu.
- Puasa menciptakan merode untuk menghilangkan kebiasaan buruk (konsumtif seperti merokok, ngopi, ngeteh dsb, sehingga pada waktu force mayor. seperti sakit, perang, keadaan darurat kebiasaan tersebut bisa diminimalisir.
- puasa dapat digunakam untuk memberikan stimulus kepada siapapun untuk mencapai cita-citanya dengan cara yang tidak matrealistis, semisal untuk lulus seleksi ujian, mencari pekerjaan, jodoh dan yang lain.
- Puasa dapat digunakan untuk mengendalikan nafsu biologis sesuai tuntunan Nabi.
Teks akhir dengan ungkapan la’alakum tattqun memberikan informasi bahwa taqwa bukan hanya bentuk sekarang saja akan tetapi perpaduan atara bentuk presnten da (yang mempunyai arti sekarang dan juga akan dating, eferknya puasa merupakan kewajiban sekarang dan sampai meninggl untuk membentuk pribadi yang benar-benar bertaqwa.