Rabu, 22 September 2010

IDUL FITHRI

IDUL FITHRI
            Idul Fitri selalu identik dengan hingar-bingar, suka-cita, serta gelak-tawa setiap insan terlebih bagi umat Islam. Akan tetapi apa sih idul fitri itu? Apa cukup dengan membunyikan petasan, bersilaturrahim, atau rutinitas mudik ke kampung halaman yang hanya dijumpai di Negara kita, Indonesia?
Kalau diperhatikan dan dirasakan secara manusiawi dan rasa jujur, idul fitri merupakan serangkaian proses dari penempaan seorang muslim pada saat melayani bulan Allah (bulan ramadhan) di mana ia seharusnya tidak sekedar menjalaninya seperti rutinitas keseharian. Sehingga idul fitri merupakan titik puncak tertinggi (kulminasi) dari rasa syukur kepada Allah dengan mencitrakan diri, rasa riang, saling memaafkan, solidaritas tertinggi sebagaimana diekspresi dari pengeluaran zakat dibawah panji-panji Takbir (Allahu Akbar), tahlil (laa ilaha illallah), tahmid (walil laahil hamd) menjadikan manusia kefitrahnya kembali.
Tidak salah kalau kita yang berhari raya ikut memakai predikat kembali lagi kefitrahnya jika dikonfirmasikan dengan beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, Fithri jika diartikan dengan suci sama dengan teori yang diinformasikan oleh Nabi:
قَالَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - « كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ ، كَمَثَلِ الْبَهِيمَةِ تُنْتَجُ الْبَهِيمَةَ ، هَلْ تَرَى فِيهَا جَدْعَاءَ »
Nabi SAW. bersabda: Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fithrah. Kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi seorang Yahudi, atau Nasrani maupun seorang Majusi. Sebagaimana seekor binatang yang melahirkan seekor anak tanpa cacat, apakah kamu merasakan terdapat yang terpotong hidungnya?.
Konsep fithrah mempertegas, bahwa anak lahir telah membawa sesuatu, yakni kesucian (dari dosa-dosa) dan keimanan (kepada Allah sesuai dengan perjanjian yang telah dilakukannya). Kesucian dan keimanan itulah fithrah azali manusia yang akan ditumbuhkan kembangkan kembali selama berpuasa.
Dengan demikian, maka manusia kendatipun dalam kesadarannya tidak mengingat perjanjian itu, akan tetapi alam bawah sadarnya tetap “menyimpan naskah” perjanjian itu. Puasa adalah sarana penggugah alam bawah sadar manusia, sehingga, ketika tergugah, seseorang akan membuka kembali naskah perjanjiannya, bahkan akan berikrar kembali dengan cara membayar zakat, saling maaf memaafkan, dan bersaksi kembali dengan iringan suara takbir, tahlil dan tahmid.
Pada saat idul fitri Islam mengajarkan untuk bersilaturrahim, dan saling maaf memaafkan. Sehingga melahirkan nuansa tersucikan dari berbagai dosa, baik dosa kepada Allah maupun dosa kepada sesama. Berkenaan dengan amal ibadah kita, itu semua dapat dimulai dengan intropeksi diri, (muhasabah binafsihi) untuk apa sebenarnya kita ini beribadah? Benarkan untuk Allah semata?, ataukah kita sebenarnya beribadah karena tidak tahan terhadap tekanan sosial, kenaikan BBM, dan lain-lain?
Kedua, berbekal puasa maka seharusnya puasa menjadikan manusia yang mempunyai kesadaran ijtima’iyah (sosial) yang tinggi karena secara langsug ikut merasakan komunitas yang ekonominya masih di bawah kita. Pada hari biasa kita mungkin sering hanyut dalam mekanisme hawa nafsu. Kita lebih cenderung menjadi “homo homisi lupus”, srigala bagi srigala yang lain, kata filosof Inggeris Thomas Hubbes. Dengan berpuasa kita merasakan secara langsung kehidupan masyarakat yang miskin tersebut. Keterlibatan secara langsung ini merupakan suatu cara agar kita tidak “sok teoretis atau sok akademis” dalam melihat kemiskinan, sebab makna sejati dari pemihakan itu adalah keterlibatan secara langsung, dan dengan itu kita ditraining untuk berbagi rasa, berbagi pengalaman, dan dipancing untuk mengurangi atau mengentas kesulitan yang mereka hadapi.
Manusia yang sepenuhnya dikuasai mekanisme hawa nafsu, tak ubahnya seperti hewan, atau “robopaths” dimana mereka telah kehilangan kreativitasnya. Mereka menjadi mesin yang secara ritual terikat pada kegiatan yang monoton. Pagi hari bangun, mandi, dan makan pagi. Setelah itu pergi ke kantor untuk mengerjakan pekerjaan yang itu-itu juga. Sore hari pulang untuk melakukan hal-hal yang sama, kegiatan itu berulang kembali setiap hari. Mereka bukan lagi manusia, melainkan robot-robot yang digerakkan secara massal oleh pemegang kebijakan. Pada hari raya, setelah membuktikan keberhasilannya dengan berpuasa, mereka seolah kembali menjadi manusia sejati, mereka telah menemukan kemanusiaannya kembali.
Ketiga, kita yang beridul fitri sebenarnya sedang kembali kepada kehidupan normal. Pada bulan Ramadlan, katakanlah, kita memang dalam kehidupan yang “tidak normal”. Sebab saat itu kita harus melakukan hal-hal yang sebenarnya (pada bulan-bulan yang lain) diperbolehkan seperti makan, minum maupun mencari kenikmatan duniawi (hubungan suami-istri). Namun ketika idul fitri telah dating berarti kita dalam keadaan hidup yang normal kembali, sehingga kita dapat memikirkan dan mencerna dengan sadar (tidak dalam kondisi lapar dan dahaga) hikmah dan fadilah puasa dibulan ramadlan:
  1. puasa bukan budaya baru dalam agama langit, sehingga umat Islam tidak perlu merasa aneh apalagi keberatan dengan syariat puasa.
  2.  Puasa ternyata hanya sarana yang dapat mengantarkan manusia menjadi manusia fitri yang kehidupannya dari awal hingga akhir nanti hanya untuk mengabdi kepada Allah atau muttaqin  dalam istilah Al-Qur’an. Bahkan diwacanakan dengan redaksi la’allakum tataqu>n (semoga akan menjadi orang-orang yang taqwa) yang mengindikasikan bahwa taqwa itu harus diperjuangkan antara lain melalui puasa sejak kini hingga masa yang akan datang sampai ajal menjemput manusia.
  3.  puasa adalah sebuah metode Ilahi yang dapat memaksa setiap manusia untuk merasakan bagaimana rasanya orang yang lagi kelaparan dan kehausan dalam jangka yang relative singkat.
  4. puasa menciptakan manusia berlaku sabar dan santun ketika menghadapi celaan dan hinaan, supaya menjawab 2 kali dengan ucapan : “ saya sedang puasa”. sesuai ajaran Nabi. Ini menunjukkan sisi kemanusiannya ketimbang sisi hewaninya yang mestinya layak kalau dia kalau marah juga. Tapi dengan puasa manusia diajari untuk lebih menonjolkan kesabaran dan kesantunannya atau sisi manusiawinya.
  5. Puasa menciptakan kasih sayang  kepada kaum papa (fakir-miskin) dengan cara merasakan sendiri bagaimana rasa lapar dan dahaga itu.
  6. Puasa menciptakan merode untuk menghilangkan kebiasaan buruk (konsumtif seperti merokok, ngopi, ngeteh dsb, sehingga pada waktu force mayor. seperti sakit, perang, keadaan darurat  kebiasaan tersebut bisa diminimalisir.
  7. puasa dapat digunakam untuk memberikan stimulus kepada siapapun untuk mencapai cita-citanya dengan cara yang tidak matrealistis, semisal untuk lulus seleksi ujian, mencari pekerjaan, jodoh dan yang lain.
  8.  Puasa dapat digunakan untuk mengendalikan nafsu biologis sesuai tuntunan Nabi.

Teks akhir dengan ungkapan la’alakum tattqun memberikan informasi bahwa taqwa bukan hanya bentuk sekarang saja akan tetapi perpaduan atara bentuk presnten da (yang mempunyai arti sekarang dan juga akan dating, eferknya puasa merupakan kewajiban sekarang dan sampai meninggl untuk membentuk pribadi yang benar-benar bertaqwa.

Minggu, 19 September 2010

Adab Ikhtilaf (Berselisih Faham)

ADAB IKHTILAF

Islam telah meletakkan sendi-sendi adab yang tinggi bagi seorang muslim yang berjalan diatas manhaj
Sunnah, dalam pergaulannya bersama saudara-saudaranya ketika berselisih faham dengan mereka dalam
masalah-masalah ijtihadiyah. Cukuplah kiranya, sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, pembawa rahmat
dan petunjuk.
"Artinya : Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq-akhlaq yang mulia". [Diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dalam 'Adabul Mufrad' dan Imam Ahmad. Lihat 'Silsilah Ash-shahihah 15']
Di antara adab-adab itu ialah :

[1]. Lapang Dada Menerima Kritik Yang Sampai Kepada Anda Untuk Membetulkan Kesalahan, Dan Hendaklah Anda Ketahui Bahwa Ini Adalah Nasehat Yang Dihadiahkan Oleh Saudara Seiman Anda.
Ketahuilah ! Bahwa penolakan anda terhadap kebenaran dan kemarahan anda karena pembelaan terhadap diri adalah kesombongan -A'aadzanallah. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda.
"Artinya : Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain". [Hadits Riwayat Muslim]
Banyak sekali contoh sekitar adab yang mulia ini yang telah dijelaskan oleh para salafus shalih, diantaranya
adalah :
Kisah yang diceritakan oleh al-Hafizh Ibnu Abdil Bar, beliau berkata : "Banyak orang telah membawa berita
kepada saya, berasal dari Abu Muhammad Qasim bin Ashbagh, dia berkata : "Ketika saya melakukan
perjalanan ke daerah timur, saya singgah di Qairawan. Disana saya mempelajari hadits Musaddad dari Bakr
bin Hammad. Kemudian saya melakukan perjalanan ke Baghdad dan saya temui banyak orang (Ulama)
disana. Ketika saya pergi (dari Baghdad), saya kembali lagi kepada Bakr bin Hammad (di Qairawan-red)
untuk menyempurnakan belajar hadits Musaddad.
Suatu hari saya membacakan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dihadapan beliau (untuk
mempelajarinya) :
"Artinya : Sungguh telah datang satu kaum dari Muldar yang (Mujtaabin Nimar)"
Beliau (Bakr bin Hammad) berkata kepadaku "Sesungguhnya yang benar adalah Mujtabits Tsimar. Aku
katakan padanya Mujtaabin Nimar, demikianlah aku membacanya setiap kali aku membacakannya di hadapan setiap orang yang aku temui di Andalusia dan Irak"
Beliau berkata kepadaku : "Karena engkau pergi ke Irak, maka kini engkau (berani) menentang aku dan
menyombongkan diri dihadapanku ?" Kemudian dia berkata kepadaku (lagi) : "Ayolah kita bersama-sama
bertanya kepada syaikh itu (menunjuk seorang syaikh yang berada di Masjid), dia punya ilmu dalam hal
seperti ini"
Kami pun pergi ke syaikh tersebut dan kami menanyainya tentang hal ini.
Beliau berkata : "Sesungguhnya yang benar adalah [Mujtaabin Nimar]" seperti yang aku baca. Artinya adalah :
Orang-orang yang memakai pakaian, bagian depannya terbelah, kerah bajunya ada di depan. Nimar adalah
bentuk jama' dari Namrah. Bakr bin Hammad berkata sambil memegangi hidungnya : "Aku tunduk kepada
al-haq, aku tunduk kepada al-haq !" lalu ia pergi. [Mukhtasyar Jaami' Bayanil Ilmi wa Fadlihi, hal.123 yang
diringkas oleh Syaikh Ahmad bin Umar al-Mahmashaani]
Saudaraku, cobalah anda perhatikan -semoga Allah senantiasa menjaga anda- betapa menakjubkan sikap Adil ini ! Alangkah perlunya kita pada sikap adil seperti sekarang ! Akan tetapi mana mungkin hal itu terjadi
kecuali bagi orang yang ikhlas niatnya karena Allah Subhanahu wa Ta'ala. Inilah dia Imam Malik
rahimahullah (pada masa hidupnya-red) pernah berkata : "Tidak ada sesuatupun yang lebih sedikit
dibandingkan dengan sifat adil pada zaman sekarang ini" [Mukhtasyar Jaami' Bayanil Ilmi wa Fadlihi, hal .
120 yang diringkas oleh Syaikh Ahmad bin Umar al-Mahmashaani]
Maka apa lagi dengan zaman sekarang ini yang sudah demikian berkecamuknya hawa nafsu!! -Kita berlindung kepada Allah dari fitnah yang menyesatkan-.

[2]. Hendaklah Memilih Ucapan Yang Terbaik Dan Terbagus Dalam Berdiskusi Dengan Sesama Saudara Muslim.
Allah berfirman.
"Artinya : Serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia" [Al-Baqarah : 83]
Dari Abu Darda' Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Tidak ada sesuatupun yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin pada hari kiamat
dibanding akhlaq yang baik, dan sesungguhnya Allah murka kepada orang yang keji dan jelek (akhlaqnya)".
[Hadits Riwayat Tirmidzi).

[3]. Hendaklah Diskusi Yang Dilakukan Terhadap Saudara Sesama Muslim, Dengan Cara-Cara Yang Bagus Untuk Menuju Suatu Yang Lebih Lurus.
Yang menjadi motif dalam berdiskusi hendaklah kebenaran, bukan untuk membela hawa nafsu yang sering
memerintahkan pada kejelekan. Akhlak anda ketika berbicara terletak pada keikhlasan anda. Jika diskusi
(tukar fikiran) sampai ketingkat adu mulut, maka katakanlah : "salaam/selamat berpisah !" dan bacakanlah
kepadanya sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Saya adalah pemimpin di sebuah rumah di pelataran sorga bagi orang yang meninggalkan adu
mulut meskipun ia benar" [Hadits Riwayat Abu Daud dari Abu Umamah al-Bahily]
Al-Hafizh Ibnu Abdil Bar menyebutkan dari Zakaria bin Yahya yang berkata : "Saya telah mendengar
Al-Ashma'i berkata : "Abdullah bin Hasan berkata : Adu mulut akan merusak persahabatan yang lama, dan
mencerai beraikan ikatan (persaudaraan) yang kuat, minimal (adu mulut) akan menjadikan mughalabah
(keinginan untuk saling mengalahkan) dan mughalabah adalah sebab terkuat putusnya ikatan persaudaraan.

Dari Ja'far bin Auf, dia berkata : saya mendengar Mis'ar berkata kepada Kidam, anaknya :
Kuhadiahkan buatmu wahai Kidam nasihatku
Dengarlah perkataan bapak yang menyayangimu
Adapun senda gurau dan adu mulut, tinggalkanlah keduanya
Dia adalah dua akhlak yang tak kusuka dimiliki teman
Ku pernah tertimpa keduanya lalu akupun tak menyukainya
Untuk tetangga dekat ataupun buat teman
Para salaf shalih telah membuat permisalan yang sangat cemerlang tentang etika ikhtilaf (perselisihan
pendapat), diantaranya adalah :
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Hushain bin Abdurrahman, dia berkata :
"Saya berada di tempat Said bin Jubair, lalu ia berkata : "Siapakah diantara kalian yang melihat bintang jatuh
tadi malam ?
Saya jawab : "Saya, tetapi ketahuilah bahwa saya tidak dalam keadaan shalat, saya kena sengat binatang
berbisa!".
Sa'id bertanya : "Apa yang kau perbuat ?"
Saya menjawab : "Saya melakukan ruqyah (baca-bacaan sebagai obat)"
Said bertanya : "(Dalil) apakah yang membawamu untuk melakukan itu ?"
Saya jawab : "Sebuah hadits yang diceritakan kepada kami oleh As-Sya'bi".
Sa'id berkata :"Apa yang diceritakan Asy-Sya'bi kepadamu ?"
Saya jawab : "Dia bercerita kepada kami dari Buraidah bin Al-Hushain bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda.
"Artinya : Tidak ada ruqyah kecuali (pada penyakit yang timbul) dari mata (orang yang dengki) dan bisa
(racun) hewan"
Dia berkata : "Sungguh bagus orang yang berpedoman pada apa (riwayat) yang ia dengar, akan tetapi Ibnu
Abbas menceritakan kepada kami bahwa .....(sampai akhir hadits)"
Perhatikanlah adab mulia yang dimiliki pewaris ilmunya Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu ini, ia tidak memaki
Hushain bin Abdurrahman (orang yang berselisih dengannya), bahkan menganggapnya baik karena Hushain
mengamalkan dalil yang ia ketahui. Kemudian baru setelah itu. Sa'id bin Jubair menjelaskan hal yang lebih
utama (untuk dilakukan) dengan cara yang lembut dan dikuatkan dengan dalil.

Akhirnya melalui hadits ini kita dapat mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut.


[1] Ikhtilaf, meskipun ia sudah menjadi perkara yang ditakdirkan oleh Allah akan tetapi wajib bagi kita untuk
menjauhinya dan tidak punya keinginan untuk berikhtilaf pada suatu yang boleh selama kita masih ada jalan
untuk menghindarinya.

[2] Perkara-perkara yang diperbolehkan ijtihad padanya, memiliki beberapa syarat dan ketentuan-ketentuan
yang diatur oleh ilmu dan keikhlasan bukan diatur oleh perkiraan dan kemauan hawa nafsu.

[3] Ahlu Sunnah memiliki manhaj dalam memahami ikhtilaf yang diambil dari Al-Qur'an dan Sunnah.
Diantara adab-adabnya adalah mengikuti akhlak para salaf shalih dalam pergaulan dengan sesama mereka
ketika terjadi ikhtilaf.

[4] Tidak boleh bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menuduh saudaranya
memisahkan diri dari manhaj Ahlus Sunnah kecuali berdasarkan ilmu dan keadilan, bukan berdasarkan
kebodohan dan kezhaliman.

[5] Tidak mencampur adukkan antara masalah-masalah ijtihadiyah dengan masalah iftiraq (perpecahan)
demikian juga tidak boleh mencampur-adukkan antara orang yang membuat bid'ah juz'iyah dengan orang yang meninggalkan sunnah dengan bid'ah kulliyah.

[Demikianlah, semoga tulisan terjemahan dari majalah al-Ashalah ini dapat memberikan tambahan
pemahaman kepada pembaca sekalian tentang Fiqh Ikhtilaf atau perbedaan pendapat]
[Disadur dari Majalah Al-Ashalah tgl.15 Dzul Hijjah 1416H, edisi 17/Th III hal. 78-89, karya Salim bin Shalih
Al-Marfadi, dan dimuat di Majalah As-Sunnah edisi 06/Tahun V/1422H/2001M, hal. 30-32 Adab-adaB
Ikhtilaf merupakan bagian ketiga dari tiga bagian, diterjemahkan oleh Ahmad Nusadi.]